Halaman

Jumat, 26 April 2013

13 months ago :)


The date of 26 is more special for me.. hemm..not only for me. But for US 
I will never forget everything that happened to me for the last 13 months. Everything was “precious” for me.
13 months ago, you for the first time say : “would you be my girl?”..
13 months ago, for the first time you reach my hand and looks at me with expectantly..
13 months ago, I can feel my heart get a little beats faster
13 months ago, my heart is sure that you are the one..
13 months ago, you touched my herat and I feel completely..
And I hope your love would’nt never fade :’)
Much love. xoxo



Behavioral Therapy

Definisi Terapi Perilaku
Terapi perilaku merupakan intervensi yang menerapkan prinsip dan teknik belajar secara sistematis untuk mengubah perilaku individu dalam upaya meningkatkan fungsi dalam kehidupan sehari-hari (Martin & Pear, 2007.)

Dimensi Perilaku


Perilaku memiliki satu atau lebih dimensi yang dapat diukur (Martin & Pear, 2007). Dimensi-dimensi tersebut meliputi:
a) Frekuensi, yang merujuk pada seberapa sering suatu perilaku muncul
b) Durasi, yang merujuk pada seberapa lama suatu perilaku berlangsung
c)  Intensi, yang merujuk pada seberapa kuat suatu perilaku muncul
d)  Latensi, yang merujuk pada seberapa lama rentang waktu antara terjadinya stimulus dan respon perilaku yang muncul

Tahapan Terapi Perilaku
Ada beberapa tahap yang dilaksanakan dalam penerapan program behavior modification (Martin & Pear, 2007), yaitu:
a.  Screening or intake phase
Dalam fase ini dilakukan pengklarifikasian masalah dan penentuan siapa yang harus diberikan penanganan.
b.  Baseline or preprogram assessment phase
Dalam fase ini dilakukan assessment terhadap target behavior sebelum program dilaksanakan. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi apakah perilaku pada seseorang berubah atau tidak setelah mendapatkan treatment.
c.  Treatment phase
Dalam fase ini treatment modifikasi perilaku diberikan kepada klien berdasarkan teknik yang dipilih.
d.  Follow up phase
Fase ini dilaksklienan setelah treatment selesai. Tujuan dari fase follow up adalah mengevaluasi apakah perilaku berubah setelah treatment tidak lagi diberikan.

Strategi dan Tehnik

Systematic Desensitization(SD)


Systematic desensitization merupakan bentuk terapi perilaku yang dikembangkan oleh Joseph Wolpe untuk mengatasi masalah fobia spesifik (Martin & Pear, 2007). Terapi ini dilandasi oleh prinsip reciprocal inhibition, yaitu stimulus yang menimbulkan rasa takut dipasangkan dengan respon tertentu yang dapat menghalangi munculnya perasaan takut. Dalam pelaksanaannya klien mempraktikan relaksasi sambil membayangkan stimulus yang ditakuti secara bertahap.
Terapi ini telah digunakan secara luas dan terbukti efektif untuk mengatasi masalah takut yang berlebihan (Kazdin, 1980).

In Vivo Desensitization (IVD)


Merupakan bentuk lebih lanjut dari systematic desensitization, namun pada prosedur ini secara bertahap klien benar-benar dihadapkan pada stimulus yang menimbulkan rasa takut (Walker, Clement, dan Wright, 1981, dalam Miltenberger, 2008). IVD lebih tepat diterapkan pada individu yang mengalami kesulitan dalam membayangkan stimulus yang ditakuti (Martin & Pear, 2007).
1.  Tahapan In Vivo Desensitization
Terdapat tiga tahap pada IVD, yaitu:
a.  Relaksasi

Pelatihan relaksasi merupakan strategi yang digunakan untuk menurunkan autonomic arousal yang merupakan komponen dari rasa takut dan cemas. Ketika klien merasa takut atau cemas, respon fisiologis yang muncul adalah ketegangan pada otot, detak jantung yang cepat, berkeringat dingin, atau nafas yang tersengal-sengal. Simptom-simptom tersebut merupakan bagian dari autonomic arousal yang muncul ketika klien menghadapi stimulus yang ditakuti. Dengan menggunakan prosedur relaksasi, klien melakukan aktivitas yang berfungsi berlawanan dengan autonomic arousal seperti menurunkan ketegangan otot, menghangatkan tangan, bernafas dengan pelan, dll. Ketika klien melakukan prosedur aktivitas yang berlawanan dengan respon otonomi tubuh, maka ketakutan akan berkurang. Salah satu prosedur relaksasi yang banyak digunakan adalah diaphragmatic breathing (Davis, Eshelman, & McKay, dalam Miltenberger, 2008).
Diaphragmatic breathing atau deep breathing atau relaxed breathing merupakan teknik relaksasi dimana klien bernafas panjang dalam ritme yang lambat dan teratur. Setiap kali bernafas klien menggunakan otot diagfragma untuk menghirup oksigen ke dalam paru-paru. Pola pernafasan tersebut dilakukan untuk menggantikan pernafasan pendek dan tersengal yang muncul secara automatic ketika seseorang merasa takut atau cemas. Untuk mempelajari diaphragmatic breathing, klien duduk dalam posisi yang nyaman sambil meletakkan tangan di perut yang merupakan lokasi otot diafragma, menutup mata, kemudian menarik nafas dengan lambat sekitar 3-5 detik. Pada saat menarik nafas, klien merasakan pergerakan diagfragma dan memfokuskan diri pada sensasi fisik yang ia rasakan. Hal tersebut juga berguna agar perhatian klien teralih dari stimulus yang membuatnya tidak nyaman.
 b. Hirarki Stimulus yang Ditakuti
Setelah klien mempelajari dan menguasai prosedur relaksasi, terapis dan klien menyusun hirarki stimulus yang menimbulkan ketakutan pada klien. Pertama klien diminta untuk menuliskan berbagai stimulus yang ia takuti. Setelah itu klien memberi rating kecemasan yang bernilai 0-100 pada masing-masing stimulus. Dari daftar stimulus tersebut lalu, terapis menyusun stimulus mulai dari yang menimbulkan rasa takut paling rendah sampai dengan yang paling tinggi.
 c. Exposure
Setelah hirarki stimulus yang ditakuti tersusun, secara bertahap klien mulai dihadapkan langsung dengan stimulus-stimulus tersebut sambil menerapkan teknik relaksasi yang telah dipelajari. Pada sesi awal, stimulus yang dihadapkan pada klien adalah menimbulkan ketakutan paling rendah. Setelah klien merasa nyaman dan tingkat ketakutannya berkurang, ia akan dihadapkan pada stimulus yang lebih sulit. Demikian seterusnya sampai akhirnya klien dihadapkan pada stimulus yang paling ditakuti.

Reinforcer


Reinforcer diberikan untuk memperkuat suatu perilaku yang dipelajari. Kazdin (1980) menjelaskan beberapa tipe reinforcer yang dapat diterapkan dalam behavior modification, yaitu:
a.  Food and other consumables
Makanan menjadi primary reinforcers karena nilai penguatannya tidak dipelajari namun bersifat subjektif bagi masing-masing orang dan tergantung pada preferensi makanan tertentu. Kombinasi makanan dengan tipe reinforcer lain, misalnya pujian atau kejadian sosial lainnya dapat dilakukan sehingga di kemudian hari pujian atau kejadian sosial lain dapat mengontrol perilaku secara efektif.
b.  Social reinforcers
Social reinforcers meliputi pujian verbal, perhatian, kontak fisik (sentuhan dan berpegangan tangan) dan ekspresi wajah (senyuman, kontak mata, anggukan dan kedipan) yang dapat diberikan dengan mudah dan cepat dan tidak menginterupsi perilaku yang sedang muncul.
c.  High-probability behaviors
Tipe reinforcer ini memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan aktivitas yang disukainya atau untuk mendapatkan hak istimewa, misalnya bermain sepeda atau berenang. Pada beberapa kasus dimana akses terhadap suatu aktivitas terlalu sering frekuensinya, maka akan mengganggu rutinitas sehari-hari (Osborne dalam Kazdin, 1980).
d.  Informative feedback
Memberikan informasi tentang performa anak dapa menjadi reinforcement yang sangat berguna. Feedback secara implisit menyatakan respons mana yang diharapkan untuk muncul dan mengindikasikan penerimaan atau penolakan sosial terhadap perilaku anak.
e. Tokens


Tokens memiliki fungsi yang sama seperti uang dalam sistem perekonomian nasional. Tokens, dikumpulkan oleh anak untuk kemudian ditukarkan dengan back-up reinforcers, misalnya makanan, kegiatan, atau hak istimewa. Jumlah penukaran tokens untuk back-up reinforcers harus spesifik sehingga menjadi jelas berapa banyak tokens yang dibutuhkan untuk “membeli” reinforcer tertentu. Desirable behavior juga perlu dinyatakan secara eksplisit bersamaan dengan berapa banyak tokens yang diperoleh jika anak menunjukkan perilaku demikian. Tokens merupakan tipe reinforcer yang dapat menghubungkan penundaan antara desirable behavior dan back-up reinforcement. Hal ini merupakan kelebihan dari sistem tokens. Jika suatu reinforcer (misalnya aktivitas) tidak dapat diberikan dengan segera, maka tokens dapat diberikan dengan segera dan kemudian digunakan untuk ”membeli” back-up reinforcer. Akan tetapi, sistem ini juga memiliki kelemahan. Jika pemberian tokens dihentikan, maka desirable behavior akan menghilang (Kazdin, 1980).
Jadwal pemberian reinforcement merujuk pada seberapa banyak respons atau respons spesifik mana yang akan diberikan reinforcer.
Pada jadwal yang sederhana, reinforcement akan diberikan setiap kali respons muncul, yang dinamakan continuous reinforcement. Misalnya untuk melatih anak dengan intellectual disability agar dapat mengikuti instruksi, maka reinforcement diberikan segera setelah anak berespon secara tepat. Pada kondisi lain, reinforcement diberikan setelah beberapa kali respons yang sama muncul. Jadwal seperti ini dinamakan intermittent reinforcement. Jika pemberian reinforcement dihentikan, maka perilaku yang mendapat reinforcement secara kontinu akan cenderung menghilang lebih cepat dibandingkan dengan perilaku yang mendapat intermittent reinforcement (Kazdin, 1980).

Operant Conditioning
Tingkah laku operan menjadi ciri organisme yang aktif yang beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat, merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan sehari-hari (misalnya, membaca, berbicara, berpakaian, makan, bermain). Menurut Skinner (1971) jika suatu tingkah laku diganjar maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laku tersebut dimasa mendatang tinggi. Prinsip perkuatan yang menerangkan pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola-pola tingkah laku merupakan inti dari pengkondisian operan.
Di sini akan diilustrasikan teknik-teknik operan yang menggunakan reinforcement positif, pemadaman/penghentian (extinction), dan “time out” dari reinforcement positif..
a. Positive Reinforcement
Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul, merupakan suatu cara yang ampuh untuk mengubah tingkah laku.
b. Pemadaman/penghentian (Extinction)
Apabila suatu respons terus-menerus dibuat tanpa perkuatan, maka respons tersebut cenderung menghilang. Dengan demikian, karena pola-pola tingkah laku yang dipelajari cenderung melemah dan terhapus setelah suatu periode, cara untuk mengahapus tingkah laku yang maladaptif adalah menarik perkuatan dari tingkah laku tersebut. Wolpe (1969) menekankan bahwa penghentian pemberian perkuatan harus serentak dan penuh.
c. Time-out
Dapat dilakukan dengan dua cara: (1) berkaitan dengan mainan atau boneka yang menjadi favoritnya, atau (2) dengan menempatkan klien dalam suatu “time out room” dimana di dalam ruangan/rumah tersebut tidak ada “rangsangan ganjaran” atau sesuatu untuk dikerjakan (misalnya, TV, majalah, atau mainan).

Flooding (Pembanjiran)
Kontras dengan sistematik desensitisasi yang menyajikan item hirarkis untuk meminimalisir kecemasan, maka flooding menyajikan itemitem untuk memaksimalkan kecemasan, dapat secara imaginal atau secara ‘in vivo’ yang menyajikan dunia real dengan stimulus aktual. In vivo flooding terutama efektif untuk menangani agoraphobia.

Implosive Therapy
Dikemukakan oleh Thomas Stampfl (1961), teknik ini sama dengan ‘imaginal flooding’, dimana klien diarahkan untuk membayangkan situasi (stimulus) yang mengancam. Dengan secara berulang-ulang dimunculkan dalam setting terapi dimana konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dan menakutkan tidak muncul, stimulus yang mengancam kehilangan daya menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotik pun terhapus. Misalnya, klien yang obsesif terhadap “kebersihan”.

Participant Modeling (Percontohan)
Meliputi: modeling dengan partisipasi terbimbing (terapis membimbing klien atas rangkaian latihan), demonstrasi dengan partisipasi (terapis medemonstrasikan sebelum klien berpartisipasi), dan contact-desensitization (kontak pisik antara terapis dan klien selama phase awal partisipasi klien dalam treatment).

Self-Efficacy dan Teknik-Teknik Mereduksi-takut
Efficacy information, ditransformasikan kepada klien melalui: (1) actual performance accomplishment, (2) vicarious learning (modeling), (3) verbal persution, dan (4) changes physiological arousal. Implikasi teori Bandura untuk psikoterapi bersifat ‘direct’. Ketika desensitisasi sistematik mengambil keuntungan perubahan dalam ‘autonomic arousal’ dan ‘verbal persuation’, maka ‘participant modeling’ justeru melibatkan empat saluran informasi, dengan ditambah vicarious modeling dan sumber informasi yang paling kuat/baik, serta partisipasi aktif (pencapaian performance). Dengan demikian, participant modeling menurut Bandura merupakan treatment  yang lebih efektif daripada desensitization.

 Assertiveness (Social Skills) Training
Latihan asertif bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar. Tingkah Iaku asertif memiliki karakteristik: (1) ‘tingkah laku interpersonal’ yang melibatkan ‘kejujuran dan ekspresi yang berterus terang’ dari pikiran dan perasaan, (2) tingkah laku asertif adalah ‘socially appropriate’, dan (3) ketika seseorang menjadi asertif, maka akan mendapat dan memperhitungkan ‘feelings and welfare” pada yang lain. Teknik-tekniknya: (a) the Glasses Technique, dan (b) Assertiveness Training in Groups.

 Aversive Countercounditioning
Dalam banyak kasus, tujuan terapi adalah mengelimiasi atau mengurangi tingkah laku bermasalah. Teknik aversif terutama sangat cocok untuk tugas ini. Secara definisi aversive (penentangan), digunakan untuk mengatasi macam-macam tingkah laku yang tidak menyenangkan atau tidak diinginkan. Misalnya, pecandu rokok, peminum, dan homoseks. Teknik aversi digunakan untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral spesifik yang melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Kendalinya bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan hukuman (misalnya, kejutan listrik, atau ramuan yang membuat mual)
Self-Control
Teknik behavioral yang menekankan suatu aktivitas, ‘coping respons’ dari klien yang memungkinkan seseorang mengontrol dalam situasi-situasi problematiknya. Misalnya, digunakan untuk alkoholik, ‘selfabusive child’, untuk siswa yang ingin mengembangkan keterampilan studi, atau untuk pribadi ‘overweight’ yang ingin mengontrol tingkah laku makan.

Contingency Contracting
Contingency contracting adalah suatu bentuk teknik managemen tingkah laku, yang berguna untuk meredusir perselisihan/perpecahan marital bagi para remaja. Tahapan-tahapannya yaitu: asesmen yang difokuskan pada faktor-faktor spesifik ketidak seringan terjadinya tingkah laku yang diharapkan dan keseringan terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan, melokalisir mediator atau orang lainyang dapat memfasilitasi intervensi, mengidentifikasi reward, dan menspesifikasikan ‘pendorong’ yang dapat diterima.

Behavior Therapy and Behavioral Medicine
Pomerleau (1982) menggambarkan behavioral medicine, sebagai:
(1) klinikal menggunakan teknik-teknik yang berasal dari analisis eksperimental tingkah laku – terapi tingkah laku dan modifkasi tingkah laku untuk evaluasi, prevensi, managemen atau treatmen penyakit fisik atau disfungsi fisiologis,
(2) mengarahkan kontribusi riset untuk analisis fungsional dan memahami tingkah laku hubungannya dengan gangguan medis dan masalah-masalah dalam pemeliharaan kesehatan.

Prinsip-Prinsip yang Menjadi Pegangan Terapis (Konselor)
-  Reinforcement sebagai alat pengatur pembentukan tingkah laku baru, dan pendekatan berdasarkan prinsip-prinsip belajar.
-   Ikatan antara stimulus tertentu dengan respon cemas, dapat diperlemah dengan usaha yang simultan, sehingga respon cemasnya hilang.
-  Kondisioning klasik, salah satu prosedur terapi behavioral yang diteliti secara empiris dan digunakan secara luas, untuk mengeliminasi reaksireaksi kecemasan yang terkondisikan dan phobia-phobia.
-    Respon terhadap kecemasan itu dapat dipelajari atau dikondisikan, dan dapat dicegah dengan memberi substitusi berupa suatu aktivitas yang bersifat memusuhinya.

G. DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald. Penerjemah Mulyarto. (1991). Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. Semarang: IKIP Semarang Press. 30
Dahlan, M.D. (1985). Beberapa Pendekatan dalam Penyuluhan (Konseling). Bandung: Diponegoro
Lynn, Steven Jay & Garske, John P (1985). Contemporary Psychotherapies Models and Method. Columbus, Ohio: Bell & Howell Company.
Walker, C. Eugene, et. al. (1981) Clinical Procedures for Behavior Therapy. New Jersey: Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs

Jumat, 19 April 2013



RATIONAL EMOTIVE THERAPY


A.  Pengertian dan Konsep Dasar
Rational Emotive Therapy atau Teori Rasional Emotif mulai dikembangan di Amerika pada tahun 1960-an oleh Albert Ellis, yang berpandangan bahwa RET merupakan terapi yang sangat komprehensif, yang menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan emosi, kognisi, dan perilaku.
Rasional emotive adalah teori yang berusaha memahami manusia sebagaimana adanya. Manusia adalah subjek yang sadar akan dirinya dan sadar akan objek-objek yang dihadapinya. Manusia adalah makhluk berbuat dan berkembang dan merupakan individu dalam satu kesatuan yang berarti manusia bebas, berpikir, bernafas, dan berkehendak.
Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.

1.        Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
2.       Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan keran itu tidak produktif.
3.       Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
Selain itu, Ellis juga menambahkan D, E dan F untuk rumus ABC ini. Seorang terapis harus me­lawan (dispute; D) keyakinan-keyakinan irasional itu agar kliennya bisa menikmati dampak-dampak (effects; E) psi­kologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional. Sehingga lahir perasaan(feelings; F) yaitu perangkat perasaan yang baru, dengan demikian kita tidak akan merasa tertekan, melainkan kita akan merasakan segala sesuatu sesuai dengan situasi yang ada. Teori pendekatan DEF dari ellis jika digambarkan dalam bentuk bagan adalah demikian: D (disputing intervention) E (effect) F (new Feeling)



- D adalah yang meragukan atau membantah. Pada isensinya merupakan aplikasi dari metode ilimiah untuk menolong klien membantah keyakinan irasional. Ellis dan Bernard (1986) melukiskan tiga komponen dari proses membantah ini:
Pertama: klien belajar cara mendeteksi keyakinan irasional mereka, terutama kemutlakan seharusnya dan harus, sifat berlebihan, dan pelecehan pada diri sendiri.
Kedua: klien memperdebatkan keyakinan yang disfungsional itu dengan belajar cara mempertanyakan semua itu secara logis dan empiris dan dengan sekuat tenaga mempertanyakan kepada diri sendiri serta berbuat untuk tidak mempercayainya.
Ketiga: klien belajar untuk mendiskriminasikan keyakinan yang irasional dan rasional.
- E adalah falsafah efektif, yang memiliki segi praktis. Falsafah rasional yang baru dan efektif terdiri dari menggantikan yang tidak pada tempatnya dengan yang cocok. Apabila itu berhasil maka akan tercipta F atau new feeling
- F adalah perangkat perasaan yang baru. Kita tidak lagi merasakan cemas yang sungguh-sungguh, melainkan kita mengalami segala sesuatu sesuai dengan situasi yang ada.


Premis mayor Terapi Rasional Emotif adalah bahwa apa yang dikatakan klien pada dirinya memberikan pengaruh yang sangat besar pada bagaimana ia merasa dan bertingkah laku (Ellis, 1973). Dalam hal ini, klien berusaha menghilangkan pikiran tidak rasional dengan self talk yang positif. self talk), supaya ia dapat menguasai hidupnya sendiri. Self talk yang positif inilah inilah yang berperan dalam menurunkan gejala kognitif stes yang sebelumnya ia alami. Klien juga lebih dapat dapat mengontrol emosi, setelah belajar menantang pikiran negatif. Asumsi dalam TRE, keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai irasional menjadi penyebab dari dengan gangguan emosional dan perilaku (Ellis dalam Corey 1997).  Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Albert Ellis (1973), bahwa pikiran rasional akan membuat seseorang mampu hidup damai dalam kelompok sosial, berhubungan secara intim dengan beberapa orang dalam anggota tersebut, menikmati hal-hal yang rekreatif yang secara selektif dipilih.
Menurut Glading (dalam Lesmana 2005) manusia mempunyai sarana yang berasal dari dirinya sendiri untuk mengendalikan pikiran, perasaan, dan tindakannya, tetapi ia harus menyadari dulu apa yang dikatakan pada dirinya sendiri .

B.   Asumsi Dasar Perilaku Bermasalah


Menurut Albert Ellis, manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkah laku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika berpikir dan bertingkah laku irasional individu itu menjadi tidak efektif. Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional tersebut merupakan akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional, yang mana emosi yang menyertai individu dalam berpikir penuh dengan prasangka, sangat personal, dan irasional. Berpikir irasional ini diawali dengan belajar secara tidak logis yang biasanya diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan.
Berpikir secara irasional akan tercermin dari kata-kata yang digunakan. Kata-kata yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan kata-kata yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.
Dalam perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah, didalamnya merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irrasional. Adapun ciri-ciri berpikir irasional adalah:
1.       Tidak dapat dibuktikan
2.       Menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak perlu
3.       Menghalangi individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif
Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir secara rasional disebabkan oleh:
1.       Individu tidak berpikir jelas tentang saat ini dan yang akan datang, antara kenyatan dan imajinasi
2.       Individu tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain
3.       Orang tua atau masyarakat memiliki kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu melalui berbagai media.
Indikator sebab keyakinan irasional adalah:
1.       Manusia hidup dalam masyarakat adalah untuk diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala sesuatu yang dikerjakan
2.       Banyak orang dalam kehidupan masyarakat yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka patut dicurigai, disalahkan, dan dihukum
3.       Kehidupan manusia senantiasa dihadapkan kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya
4.       Lebih mudah untuk menjauhi kesulitan-kesulitan hidup tertentu dari pada berusaha untuk menghadapi dan menanganinya
5.       Penderitaan emosional dari seseorang muncul dari tekanan eksternal dan bahwa individu hanya mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional tersebut
6.       Pengalaman masa lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan individu dan menentukan perasaan dan tingkah laku individu pada saat sekarang
7.       Untuk mencapai derajat yang tinggi dalam hidupnya dan untuk merasakan sesuatu yang menyenangkan memerlukan kekuatan supranatural\
8.       Nilai diri sebagai manusia dan penerimaan orang lain terhadap diri tergantung dari kebaikan penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu.
Menurut Albert Ellis juga menambahkan bahwa secara biologis manusia memang “diprogram” untuk selalu menanggapi “pengondisian-pengondisian” semacam ini. Keyakinan-keyakinan irasional tadi biasanya berbentuk pernyataan-pernyataan absolut. Ada beberapa jenis “pikiran­-pikiran yang keliru” yang biasanya diterapkan orang, di antaranya:
1.       Mengabaikan hal-hal yang positif
2.       Terpaku pada yang negatif
3.       Terlalu cepat menggeneralisasi
Secara ringkas, Ellis mengatakan bahwa ada tiga ke­yakinan irasional:
1. “Saya harus punya kemampuan sempurna, atau saya akan jadi orang yang tidak berguna”
2. “Orang lain harus memahami dan mempertimbang­kan saya, atau mereka akan menderita”.
3. “Kenyataan harus memberi kebahagiaan pada saya, atau saya akan binasa”.
C.   Tujuan
Tujuan dari RET ini antara lain:


1.       Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan sel-actualizationnya seoptimal mungkin melalui tingkah laku kognitif dan afektif yang positif.

2.       Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, rasa marah.

Tiga tingkatan insight yang perlu dicapai klien dalam konseling dengan pendekatan rasional-emotif :


1.       Insight dicapai ketika klien memahami tentang tingkah laku penolakan diri yang dihubungkan dengan penyebab sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan keyakinannya tentang peristiwa-peristiwa yang diterima (antecedent event) pada saat yang lalu.
2.       Insight terjadi ketika konselor membantu klien untuk memahami bahwa apa yang menganggu klien pada saat ini adalah karena berkeyakinan yang irasional terus dipelajari dari yang diperoleh sebelumnya.
3.       Insight dicapai pada saat konselor membantu klien untuk mencapai pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari hembatan emosional kecuali dengan mendeteksi dan melawan keyakinan yang irasional.
Klien yang telah memiliki keyakinan rasional terjadi peningkatan dalam hal :
(1) minat kepada diri sendiri, (2) minat sosial, (3) pengarahan diri, (4) toleransi terhadap pihak lain, (5) fleksibel, (6) menerima ketidakpastian, (7) komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya, (8) penerimaan diri, (9) berani mengambil risiko,(10) menerima kenyataan.
Ellis berulang kali menegaskan bahwa betapa pentingnya “kerelaan menerima diri-sendiri”. Dia mengatakan, dalam RET, tidak seorang pun yang akan disalahkan, dilecehkan, apalagi dihukum atas keyakinan atau tindakan mereka yang keliru. Kita harus menerima diri sebagaimana adanya, menerima sebagaimana apa yang kita capai dan hasilkan. Dia mengkritik teori-teori yang terlalu menekankan kemuliaan pribadi dan ketegaran ego serta konsep-konsep senada lainnya.
D.  Peran Terapis


Peran terapis di sini dibagi menjadi 2 yaitu:
1.       Aktif: berbicara, mengkonfrontasikan (yang irrasional), menafsirkan, menyerang falsafah yang menyalahkan diri
2.       Direktif
-          Menerangkan ketidakrasionalan yang dialami & yang ditunjukkan : verbal, sikap, perilaku)
-          Membujuk
-          Mengajari klien (untuk menggunakan metode-metode perilaku : PR, desentisasi, latihan asertif dsb

E.  Teknik
Beberapa teknik yang digunakan dalam RET ini adalah:
1.       Teknik Kognitif

Beberapa teknik kognitif yang cukup dikenal adalah:
1) Home Work Assigments (pemberian tugas rumah). Dalam teknik ini, klien diberikan tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri serta menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola perilaku yang diharapkan. Teknik ini sebenarnya dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap bertanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien, serta mengurangi ketergantungan kepada konselor atau terapis.
2) Assertive. Teknik ini digunakan untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan melalui; role playing(bermain peran), rehearsal (latihan), dan social modeling (meniru model-model sosial). Maksud utama teknik Assertive Training adalah untuk:
a) Mendorong kemampuan klien mengekspresikan seluruh hal yang berhubungan dengan emosinya;
b) Membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain;
c) Mendorong kepercayaan pada kemampuan diri sendiri; dan
d) Meningkatkan kemampuan untuk memilih perilaku-perilaku assertive yang cocok untuk dirinya sendiri.
Atau metode lain yang digunakan :
1.         mempertanyakan kebenaran dogma & pendapat klien secara empiris & logis
…”masa iya…”
…”coba buktikan…..”
2.         menggunakan statemen coping & statemen diri yang rasional & berulang-ulang (bersifat positif/rasional)
3.         mempertimbangkan keuntungan jika berubah & kerugian jika tidak berubah
4.         menggunakan metode psychoeduactional (audio-video cassette) mengisi kertas PR à cognitive self help
2.       Teknik Emotif Evokatif
Untuk membangkitkan perasaan-perasaan tertentu :
1.        self statemen (diri, PR)
2.        self dialogues (berdialog dengan diri sendiri) : …”apa iya..” ….masa iya..”
3.        imaginery (membayangkan) humor, cerita, role playing
3. Teknik-teknik Emotif (afektif):
1) Assertive Training, yaitu teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan perilaku tertentu yang diinginkan.
2)  Sosiodrama, yang digunakan untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang didramatisasikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan, tulisan, ataupun melalui gerakan-gerakan dramatis.
3)   Self Modeling, yakni teknik yang digunakan untuk meminta klien agar “berjanji” atau mengadakan “komitmen” dengan konselor untuk menghilangkan perasaan atau perilaku tertentu.
4) Imitasi, yakni teknik yang digunakan di mana klien diminta untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan perilakunya sendiri yang negatif.

Daftar Pustaka
Latipun. 2001. Psikologi Konseling. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press
Weliangan, Hally &Taganing. 2009. Efektivitas terapi rasional emotif (tre) dalam mengurangi pikiran tidak rasional dan stres pada perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah Tangga (KDRT). Jurnal Universitas Gunadarma Proceeding PESAT (Psikologi, ekonomi, Sastra, Arsitektur, &Sipil) Vol 3.