Halaman

Jumat, 26 April 2013


Behavioral Therapy

Definisi Terapi Perilaku
Terapi perilaku merupakan intervensi yang menerapkan prinsip dan teknik belajar secara sistematis untuk mengubah perilaku individu dalam upaya meningkatkan fungsi dalam kehidupan sehari-hari (Martin & Pear, 2007.)

Dimensi Perilaku


Perilaku memiliki satu atau lebih dimensi yang dapat diukur (Martin & Pear, 2007). Dimensi-dimensi tersebut meliputi:
a) Frekuensi, yang merujuk pada seberapa sering suatu perilaku muncul
b) Durasi, yang merujuk pada seberapa lama suatu perilaku berlangsung
c)  Intensi, yang merujuk pada seberapa kuat suatu perilaku muncul
d)  Latensi, yang merujuk pada seberapa lama rentang waktu antara terjadinya stimulus dan respon perilaku yang muncul

Tahapan Terapi Perilaku
Ada beberapa tahap yang dilaksanakan dalam penerapan program behavior modification (Martin & Pear, 2007), yaitu:
a.  Screening or intake phase
Dalam fase ini dilakukan pengklarifikasian masalah dan penentuan siapa yang harus diberikan penanganan.
b.  Baseline or preprogram assessment phase
Dalam fase ini dilakukan assessment terhadap target behavior sebelum program dilaksanakan. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi apakah perilaku pada seseorang berubah atau tidak setelah mendapatkan treatment.
c.  Treatment phase
Dalam fase ini treatment modifikasi perilaku diberikan kepada klien berdasarkan teknik yang dipilih.
d.  Follow up phase
Fase ini dilaksklienan setelah treatment selesai. Tujuan dari fase follow up adalah mengevaluasi apakah perilaku berubah setelah treatment tidak lagi diberikan.

Strategi dan Tehnik

Systematic Desensitization(SD)


Systematic desensitization merupakan bentuk terapi perilaku yang dikembangkan oleh Joseph Wolpe untuk mengatasi masalah fobia spesifik (Martin & Pear, 2007). Terapi ini dilandasi oleh prinsip reciprocal inhibition, yaitu stimulus yang menimbulkan rasa takut dipasangkan dengan respon tertentu yang dapat menghalangi munculnya perasaan takut. Dalam pelaksanaannya klien mempraktikan relaksasi sambil membayangkan stimulus yang ditakuti secara bertahap.
Terapi ini telah digunakan secara luas dan terbukti efektif untuk mengatasi masalah takut yang berlebihan (Kazdin, 1980).

In Vivo Desensitization (IVD)


Merupakan bentuk lebih lanjut dari systematic desensitization, namun pada prosedur ini secara bertahap klien benar-benar dihadapkan pada stimulus yang menimbulkan rasa takut (Walker, Clement, dan Wright, 1981, dalam Miltenberger, 2008). IVD lebih tepat diterapkan pada individu yang mengalami kesulitan dalam membayangkan stimulus yang ditakuti (Martin & Pear, 2007).
1.  Tahapan In Vivo Desensitization
Terdapat tiga tahap pada IVD, yaitu:
a.  Relaksasi

Pelatihan relaksasi merupakan strategi yang digunakan untuk menurunkan autonomic arousal yang merupakan komponen dari rasa takut dan cemas. Ketika klien merasa takut atau cemas, respon fisiologis yang muncul adalah ketegangan pada otot, detak jantung yang cepat, berkeringat dingin, atau nafas yang tersengal-sengal. Simptom-simptom tersebut merupakan bagian dari autonomic arousal yang muncul ketika klien menghadapi stimulus yang ditakuti. Dengan menggunakan prosedur relaksasi, klien melakukan aktivitas yang berfungsi berlawanan dengan autonomic arousal seperti menurunkan ketegangan otot, menghangatkan tangan, bernafas dengan pelan, dll. Ketika klien melakukan prosedur aktivitas yang berlawanan dengan respon otonomi tubuh, maka ketakutan akan berkurang. Salah satu prosedur relaksasi yang banyak digunakan adalah diaphragmatic breathing (Davis, Eshelman, & McKay, dalam Miltenberger, 2008).
Diaphragmatic breathing atau deep breathing atau relaxed breathing merupakan teknik relaksasi dimana klien bernafas panjang dalam ritme yang lambat dan teratur. Setiap kali bernafas klien menggunakan otot diagfragma untuk menghirup oksigen ke dalam paru-paru. Pola pernafasan tersebut dilakukan untuk menggantikan pernafasan pendek dan tersengal yang muncul secara automatic ketika seseorang merasa takut atau cemas. Untuk mempelajari diaphragmatic breathing, klien duduk dalam posisi yang nyaman sambil meletakkan tangan di perut yang merupakan lokasi otot diafragma, menutup mata, kemudian menarik nafas dengan lambat sekitar 3-5 detik. Pada saat menarik nafas, klien merasakan pergerakan diagfragma dan memfokuskan diri pada sensasi fisik yang ia rasakan. Hal tersebut juga berguna agar perhatian klien teralih dari stimulus yang membuatnya tidak nyaman.
 b. Hirarki Stimulus yang Ditakuti
Setelah klien mempelajari dan menguasai prosedur relaksasi, terapis dan klien menyusun hirarki stimulus yang menimbulkan ketakutan pada klien. Pertama klien diminta untuk menuliskan berbagai stimulus yang ia takuti. Setelah itu klien memberi rating kecemasan yang bernilai 0-100 pada masing-masing stimulus. Dari daftar stimulus tersebut lalu, terapis menyusun stimulus mulai dari yang menimbulkan rasa takut paling rendah sampai dengan yang paling tinggi.
 c. Exposure
Setelah hirarki stimulus yang ditakuti tersusun, secara bertahap klien mulai dihadapkan langsung dengan stimulus-stimulus tersebut sambil menerapkan teknik relaksasi yang telah dipelajari. Pada sesi awal, stimulus yang dihadapkan pada klien adalah menimbulkan ketakutan paling rendah. Setelah klien merasa nyaman dan tingkat ketakutannya berkurang, ia akan dihadapkan pada stimulus yang lebih sulit. Demikian seterusnya sampai akhirnya klien dihadapkan pada stimulus yang paling ditakuti.

Reinforcer


Reinforcer diberikan untuk memperkuat suatu perilaku yang dipelajari. Kazdin (1980) menjelaskan beberapa tipe reinforcer yang dapat diterapkan dalam behavior modification, yaitu:
a.  Food and other consumables
Makanan menjadi primary reinforcers karena nilai penguatannya tidak dipelajari namun bersifat subjektif bagi masing-masing orang dan tergantung pada preferensi makanan tertentu. Kombinasi makanan dengan tipe reinforcer lain, misalnya pujian atau kejadian sosial lainnya dapat dilakukan sehingga di kemudian hari pujian atau kejadian sosial lain dapat mengontrol perilaku secara efektif.
b.  Social reinforcers
Social reinforcers meliputi pujian verbal, perhatian, kontak fisik (sentuhan dan berpegangan tangan) dan ekspresi wajah (senyuman, kontak mata, anggukan dan kedipan) yang dapat diberikan dengan mudah dan cepat dan tidak menginterupsi perilaku yang sedang muncul.
c.  High-probability behaviors
Tipe reinforcer ini memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan aktivitas yang disukainya atau untuk mendapatkan hak istimewa, misalnya bermain sepeda atau berenang. Pada beberapa kasus dimana akses terhadap suatu aktivitas terlalu sering frekuensinya, maka akan mengganggu rutinitas sehari-hari (Osborne dalam Kazdin, 1980).
d.  Informative feedback
Memberikan informasi tentang performa anak dapa menjadi reinforcement yang sangat berguna. Feedback secara implisit menyatakan respons mana yang diharapkan untuk muncul dan mengindikasikan penerimaan atau penolakan sosial terhadap perilaku anak.
e. Tokens


Tokens memiliki fungsi yang sama seperti uang dalam sistem perekonomian nasional. Tokens, dikumpulkan oleh anak untuk kemudian ditukarkan dengan back-up reinforcers, misalnya makanan, kegiatan, atau hak istimewa. Jumlah penukaran tokens untuk back-up reinforcers harus spesifik sehingga menjadi jelas berapa banyak tokens yang dibutuhkan untuk “membeli” reinforcer tertentu. Desirable behavior juga perlu dinyatakan secara eksplisit bersamaan dengan berapa banyak tokens yang diperoleh jika anak menunjukkan perilaku demikian. Tokens merupakan tipe reinforcer yang dapat menghubungkan penundaan antara desirable behavior dan back-up reinforcement. Hal ini merupakan kelebihan dari sistem tokens. Jika suatu reinforcer (misalnya aktivitas) tidak dapat diberikan dengan segera, maka tokens dapat diberikan dengan segera dan kemudian digunakan untuk ”membeli” back-up reinforcer. Akan tetapi, sistem ini juga memiliki kelemahan. Jika pemberian tokens dihentikan, maka desirable behavior akan menghilang (Kazdin, 1980).
Jadwal pemberian reinforcement merujuk pada seberapa banyak respons atau respons spesifik mana yang akan diberikan reinforcer.
Pada jadwal yang sederhana, reinforcement akan diberikan setiap kali respons muncul, yang dinamakan continuous reinforcement. Misalnya untuk melatih anak dengan intellectual disability agar dapat mengikuti instruksi, maka reinforcement diberikan segera setelah anak berespon secara tepat. Pada kondisi lain, reinforcement diberikan setelah beberapa kali respons yang sama muncul. Jadwal seperti ini dinamakan intermittent reinforcement. Jika pemberian reinforcement dihentikan, maka perilaku yang mendapat reinforcement secara kontinu akan cenderung menghilang lebih cepat dibandingkan dengan perilaku yang mendapat intermittent reinforcement (Kazdin, 1980).

Operant Conditioning
Tingkah laku operan menjadi ciri organisme yang aktif yang beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat, merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan sehari-hari (misalnya, membaca, berbicara, berpakaian, makan, bermain). Menurut Skinner (1971) jika suatu tingkah laku diganjar maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laku tersebut dimasa mendatang tinggi. Prinsip perkuatan yang menerangkan pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola-pola tingkah laku merupakan inti dari pengkondisian operan.
Di sini akan diilustrasikan teknik-teknik operan yang menggunakan reinforcement positif, pemadaman/penghentian (extinction), dan “time out” dari reinforcement positif..
a. Positive Reinforcement
Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul, merupakan suatu cara yang ampuh untuk mengubah tingkah laku.
b. Pemadaman/penghentian (Extinction)
Apabila suatu respons terus-menerus dibuat tanpa perkuatan, maka respons tersebut cenderung menghilang. Dengan demikian, karena pola-pola tingkah laku yang dipelajari cenderung melemah dan terhapus setelah suatu periode, cara untuk mengahapus tingkah laku yang maladaptif adalah menarik perkuatan dari tingkah laku tersebut. Wolpe (1969) menekankan bahwa penghentian pemberian perkuatan harus serentak dan penuh.
c. Time-out
Dapat dilakukan dengan dua cara: (1) berkaitan dengan mainan atau boneka yang menjadi favoritnya, atau (2) dengan menempatkan klien dalam suatu “time out room” dimana di dalam ruangan/rumah tersebut tidak ada “rangsangan ganjaran” atau sesuatu untuk dikerjakan (misalnya, TV, majalah, atau mainan).

Flooding (Pembanjiran)
Kontras dengan sistematik desensitisasi yang menyajikan item hirarkis untuk meminimalisir kecemasan, maka flooding menyajikan itemitem untuk memaksimalkan kecemasan, dapat secara imaginal atau secara ‘in vivo’ yang menyajikan dunia real dengan stimulus aktual. In vivo flooding terutama efektif untuk menangani agoraphobia.

Implosive Therapy
Dikemukakan oleh Thomas Stampfl (1961), teknik ini sama dengan ‘imaginal flooding’, dimana klien diarahkan untuk membayangkan situasi (stimulus) yang mengancam. Dengan secara berulang-ulang dimunculkan dalam setting terapi dimana konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dan menakutkan tidak muncul, stimulus yang mengancam kehilangan daya menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotik pun terhapus. Misalnya, klien yang obsesif terhadap “kebersihan”.

Participant Modeling (Percontohan)
Meliputi: modeling dengan partisipasi terbimbing (terapis membimbing klien atas rangkaian latihan), demonstrasi dengan partisipasi (terapis medemonstrasikan sebelum klien berpartisipasi), dan contact-desensitization (kontak pisik antara terapis dan klien selama phase awal partisipasi klien dalam treatment).

Self-Efficacy dan Teknik-Teknik Mereduksi-takut
Efficacy information, ditransformasikan kepada klien melalui: (1) actual performance accomplishment, (2) vicarious learning (modeling), (3) verbal persution, dan (4) changes physiological arousal. Implikasi teori Bandura untuk psikoterapi bersifat ‘direct’. Ketika desensitisasi sistematik mengambil keuntungan perubahan dalam ‘autonomic arousal’ dan ‘verbal persuation’, maka ‘participant modeling’ justeru melibatkan empat saluran informasi, dengan ditambah vicarious modeling dan sumber informasi yang paling kuat/baik, serta partisipasi aktif (pencapaian performance). Dengan demikian, participant modeling menurut Bandura merupakan treatment  yang lebih efektif daripada desensitization.

 Assertiveness (Social Skills) Training
Latihan asertif bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar. Tingkah Iaku asertif memiliki karakteristik: (1) ‘tingkah laku interpersonal’ yang melibatkan ‘kejujuran dan ekspresi yang berterus terang’ dari pikiran dan perasaan, (2) tingkah laku asertif adalah ‘socially appropriate’, dan (3) ketika seseorang menjadi asertif, maka akan mendapat dan memperhitungkan ‘feelings and welfare” pada yang lain. Teknik-tekniknya: (a) the Glasses Technique, dan (b) Assertiveness Training in Groups.

 Aversive Countercounditioning
Dalam banyak kasus, tujuan terapi adalah mengelimiasi atau mengurangi tingkah laku bermasalah. Teknik aversif terutama sangat cocok untuk tugas ini. Secara definisi aversive (penentangan), digunakan untuk mengatasi macam-macam tingkah laku yang tidak menyenangkan atau tidak diinginkan. Misalnya, pecandu rokok, peminum, dan homoseks. Teknik aversi digunakan untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral spesifik yang melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Kendalinya bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan hukuman (misalnya, kejutan listrik, atau ramuan yang membuat mual)
Self-Control
Teknik behavioral yang menekankan suatu aktivitas, ‘coping respons’ dari klien yang memungkinkan seseorang mengontrol dalam situasi-situasi problematiknya. Misalnya, digunakan untuk alkoholik, ‘selfabusive child’, untuk siswa yang ingin mengembangkan keterampilan studi, atau untuk pribadi ‘overweight’ yang ingin mengontrol tingkah laku makan.

Contingency Contracting
Contingency contracting adalah suatu bentuk teknik managemen tingkah laku, yang berguna untuk meredusir perselisihan/perpecahan marital bagi para remaja. Tahapan-tahapannya yaitu: asesmen yang difokuskan pada faktor-faktor spesifik ketidak seringan terjadinya tingkah laku yang diharapkan dan keseringan terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan, melokalisir mediator atau orang lainyang dapat memfasilitasi intervensi, mengidentifikasi reward, dan menspesifikasikan ‘pendorong’ yang dapat diterima.

Behavior Therapy and Behavioral Medicine
Pomerleau (1982) menggambarkan behavioral medicine, sebagai:
(1) klinikal menggunakan teknik-teknik yang berasal dari analisis eksperimental tingkah laku – terapi tingkah laku dan modifkasi tingkah laku untuk evaluasi, prevensi, managemen atau treatmen penyakit fisik atau disfungsi fisiologis,
(2) mengarahkan kontribusi riset untuk analisis fungsional dan memahami tingkah laku hubungannya dengan gangguan medis dan masalah-masalah dalam pemeliharaan kesehatan.

Prinsip-Prinsip yang Menjadi Pegangan Terapis (Konselor)
-  Reinforcement sebagai alat pengatur pembentukan tingkah laku baru, dan pendekatan berdasarkan prinsip-prinsip belajar.
-   Ikatan antara stimulus tertentu dengan respon cemas, dapat diperlemah dengan usaha yang simultan, sehingga respon cemasnya hilang.
-  Kondisioning klasik, salah satu prosedur terapi behavioral yang diteliti secara empiris dan digunakan secara luas, untuk mengeliminasi reaksireaksi kecemasan yang terkondisikan dan phobia-phobia.
-    Respon terhadap kecemasan itu dapat dipelajari atau dikondisikan, dan dapat dicegah dengan memberi substitusi berupa suatu aktivitas yang bersifat memusuhinya.

G. DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald. Penerjemah Mulyarto. (1991). Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. Semarang: IKIP Semarang Press. 30
Dahlan, M.D. (1985). Beberapa Pendekatan dalam Penyuluhan (Konseling). Bandung: Diponegoro
Lynn, Steven Jay & Garske, John P (1985). Contemporary Psychotherapies Models and Method. Columbus, Ohio: Bell & Howell Company.
Walker, C. Eugene, et. al. (1981) Clinical Procedures for Behavior Therapy. New Jersey: Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs

0 komentar:

Posting Komentar