Behavioral Therapy
Definisi Terapi Perilaku
Terapi perilaku merupakan intervensi yang menerapkan
prinsip dan teknik belajar secara sistematis untuk mengubah perilaku individu
dalam upaya meningkatkan fungsi dalam kehidupan sehari-hari (Martin & Pear,
2007.)
Dimensi Perilaku
Perilaku memiliki satu atau lebih dimensi yang dapat
diukur (Martin & Pear, 2007). Dimensi-dimensi tersebut meliputi:
a) Frekuensi, yang merujuk pada seberapa sering suatu
perilaku muncul
b) Durasi, yang merujuk pada seberapa lama suatu
perilaku berlangsung
c) Intensi,
yang merujuk pada seberapa kuat suatu perilaku muncul
d) Latensi, yang
merujuk pada seberapa lama rentang waktu antara terjadinya stimulus dan respon
perilaku yang muncul
Tahapan Terapi Perilaku
Ada beberapa tahap yang dilaksanakan dalam penerapan
program behavior modification (Martin
& Pear, 2007), yaitu:
a. Screening or intake phase
Dalam
fase ini dilakukan pengklarifikasian masalah dan penentuan siapa yang harus
diberikan penanganan.
b. Baseline or preprogram assessment phase
Dalam
fase ini dilakukan assessment
terhadap target behavior sebelum
program dilaksanakan. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi apakah perilaku pada
seseorang berubah atau tidak setelah mendapatkan treatment.
c. Treatment phase
Dalam
fase ini treatment modifikasi
perilaku diberikan kepada klien berdasarkan teknik yang dipilih.
d. Follow up phase
Fase
ini dilaksklienan setelah treatment
selesai. Tujuan dari fase follow up
adalah mengevaluasi apakah perilaku berubah setelah treatment tidak lagi diberikan.
Strategi dan Tehnik
Systematic Desensitization(SD)
Systematic desensitization merupakan bentuk terapi perilaku yang
dikembangkan oleh Joseph Wolpe untuk mengatasi masalah fobia spesifik (Martin & Pear, 2007). Terapi
ini dilandasi oleh prinsip reciprocal
inhibition, yaitu stimulus yang menimbulkan rasa takut dipasangkan dengan
respon tertentu yang dapat menghalangi munculnya perasaan takut. Dalam
pelaksanaannya klien mempraktikan relaksasi sambil membayangkan stimulus yang
ditakuti secara bertahap.
Terapi ini telah digunakan secara
luas dan terbukti efektif untuk mengatasi masalah takut yang berlebihan
(Kazdin, 1980).
In Vivo Desensitization
(IVD)
Merupakan bentuk lebih lanjut
dari systematic desensitization,
namun pada prosedur ini secara bertahap klien benar-benar dihadapkan pada
stimulus yang menimbulkan rasa takut (Walker, Clement, dan Wright, 1981, dalam
Miltenberger, 2008). IVD lebih tepat diterapkan pada individu yang mengalami
kesulitan dalam membayangkan stimulus yang ditakuti (Martin & Pear, 2007).
1.
Tahapan In Vivo Desensitization
Terdapat tiga tahap pada IVD,
yaitu:
a. Relaksasi
Pelatihan
relaksasi merupakan strategi yang digunakan untuk menurunkan autonomic arousal yang merupakan
komponen dari rasa takut dan cemas. Ketika klien merasa takut atau cemas,
respon fisiologis yang muncul adalah ketegangan pada otot, detak jantung yang cepat,
berkeringat dingin, atau nafas yang tersengal-sengal. Simptom-simptom tersebut
merupakan bagian dari autonomic arousal
yang muncul ketika klien menghadapi stimulus yang ditakuti. Dengan menggunakan
prosedur relaksasi, klien melakukan aktivitas yang berfungsi berlawanan dengan
autonomic arousal seperti menurunkan ketegangan otot, menghangatkan tangan, bernafas
dengan pelan, dll. Ketika klien melakukan prosedur aktivitas yang berlawanan
dengan respon otonomi tubuh, maka ketakutan akan berkurang. Salah satu prosedur
relaksasi yang banyak digunakan adalah diaphragmatic
breathing (Davis, Eshelman, & McKay, dalam Miltenberger, 2008).
Diaphragmatic
breathing atau deep breathing
atau relaxed breathing merupakan
teknik relaksasi dimana klien bernafas panjang dalam ritme yang lambat dan
teratur. Setiap kali bernafas klien menggunakan otot diagfragma untuk menghirup
oksigen ke dalam paru-paru. Pola pernafasan tersebut dilakukan untuk menggantikan
pernafasan pendek dan tersengal yang muncul secara automatic ketika seseorang
merasa takut atau cemas. Untuk mempelajari diaphragmatic
breathing, klien duduk dalam posisi yang nyaman sambil meletakkan tangan di
perut yang merupakan lokasi otot diafragma, menutup mata, kemudian menarik
nafas dengan lambat sekitar 3-5 detik. Pada saat menarik nafas, klien merasakan
pergerakan diagfragma dan memfokuskan diri pada sensasi fisik yang ia rasakan.
Hal tersebut juga berguna agar perhatian klien teralih dari stimulus yang
membuatnya tidak nyaman.
b. Hirarki Stimulus
yang Ditakuti
Setelah
klien mempelajari dan menguasai prosedur relaksasi, terapis dan klien menyusun
hirarki stimulus yang menimbulkan ketakutan pada klien. Pertama klien diminta
untuk menuliskan berbagai stimulus yang ia takuti. Setelah itu klien memberi
rating kecemasan yang bernilai 0-100 pada masing-masing stimulus. Dari daftar
stimulus tersebut lalu, terapis menyusun stimulus mulai dari yang menimbulkan
rasa takut paling rendah sampai dengan yang paling tinggi.
c. Exposure
Setelah
hirarki stimulus yang ditakuti tersusun, secara bertahap klien mulai dihadapkan
langsung dengan stimulus-stimulus tersebut sambil menerapkan teknik relaksasi
yang telah dipelajari. Pada sesi awal, stimulus yang dihadapkan pada klien adalah
menimbulkan ketakutan paling rendah. Setelah klien merasa nyaman dan tingkat
ketakutannya berkurang, ia akan dihadapkan pada stimulus yang lebih sulit.
Demikian seterusnya sampai akhirnya klien dihadapkan pada stimulus yang paling
ditakuti.
Reinforcer
Reinforcer diberikan untuk memperkuat suatu perilaku yang dipelajari.
Kazdin (1980) menjelaskan beberapa tipe reinforcer
yang dapat diterapkan dalam behavior
modification, yaitu:
a. Food and other consumables
Makanan
menjadi primary reinforcers karena
nilai penguatannya tidak dipelajari namun bersifat subjektif bagi masing-masing
orang dan tergantung pada preferensi makanan tertentu. Kombinasi makanan dengan
tipe reinforcer lain, misalnya pujian
atau kejadian sosial lainnya dapat dilakukan sehingga di kemudian hari pujian
atau kejadian sosial lain dapat mengontrol perilaku secara efektif.
b. Social reinforcers
Social reinforcers meliputi pujian
verbal, perhatian, kontak fisik (sentuhan dan berpegangan tangan) dan ekspresi
wajah (senyuman, kontak mata, anggukan dan kedipan) yang dapat diberikan dengan
mudah dan cepat dan tidak menginterupsi perilaku yang sedang muncul.
c. High-probability behaviors
Tipe
reinforcer ini memberikan kesempatan
kepada anak untuk melakukan aktivitas yang disukainya atau untuk mendapatkan
hak istimewa, misalnya bermain sepeda atau berenang. Pada beberapa kasus dimana
akses terhadap suatu aktivitas terlalu sering frekuensinya, maka akan
mengganggu rutinitas sehari-hari (Osborne dalam Kazdin, 1980).
d. Informative feedback
Memberikan
informasi tentang performa anak dapa menjadi reinforcement yang sangat berguna. Feedback secara implisit menyatakan respons mana yang diharapkan
untuk muncul dan mengindikasikan penerimaan atau penolakan sosial terhadap perilaku
anak.
e. Tokens
Tokens memiliki fungsi yang sama seperti
uang dalam sistem perekonomian nasional. Tokens,
dikumpulkan oleh anak untuk kemudian ditukarkan dengan back-up reinforcers, misalnya makanan, kegiatan, atau hak istimewa.
Jumlah penukaran tokens untuk back-up reinforcers harus spesifik
sehingga menjadi jelas berapa banyak tokens yang dibutuhkan untuk “membeli” reinforcer tertentu. Desirable behavior juga perlu dinyatakan
secara eksplisit bersamaan dengan berapa banyak tokens yang diperoleh jika anak menunjukkan perilaku demikian. Tokens merupakan tipe reinforcer yang dapat menghubungkan
penundaan antara desirable behavior dan
back-up reinforcement. Hal ini
merupakan kelebihan dari sistem tokens.
Jika suatu reinforcer (misalnya
aktivitas) tidak dapat diberikan dengan segera, maka tokens dapat diberikan dengan segera dan kemudian digunakan untuk
”membeli” back-up reinforcer. Akan
tetapi, sistem ini juga memiliki kelemahan. Jika pemberian tokens dihentikan, maka desirable
behavior akan menghilang (Kazdin, 1980).
Jadwal
pemberian reinforcement merujuk pada
seberapa banyak respons atau respons spesifik mana yang akan diberikan reinforcer.
Pada
jadwal yang sederhana, reinforcement
akan diberikan setiap kali respons
muncul, yang dinamakan continuous
reinforcement. Misalnya untuk melatih anak dengan intellectual disability agar dapat mengikuti instruksi, maka reinforcement diberikan segera setelah
anak berespon secara tepat. Pada kondisi lain, reinforcement diberikan setelah beberapa
kali respons yang sama muncul. Jadwal seperti ini dinamakan intermittent reinforcement. Jika
pemberian reinforcement dihentikan, maka
perilaku yang mendapat reinforcement
secara kontinu akan cenderung menghilang lebih cepat dibandingkan dengan
perilaku yang mendapat intermittent reinforcement (Kazdin, 1980).
Operant Conditioning
Tingkah
laku operan menjadi ciri organisme yang aktif yang beroperasi di lingkungan
untuk menghasilkan akibat-akibat, merupakan tingkah laku yang paling berarti
dalam kehidupan sehari-hari (misalnya, membaca, berbicara, berpakaian, makan,
bermain). Menurut Skinner (1971) jika suatu tingkah laku diganjar maka
probabilitas kemunculan kembali tingkah laku tersebut dimasa mendatang tinggi.
Prinsip perkuatan yang menerangkan pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola-pola
tingkah laku merupakan inti dari pengkondisian operan.
Di
sini akan diilustrasikan teknik-teknik operan yang menggunakan reinforcement positif,
pemadaman/penghentian (extinction),
dan “time out” dari reinforcement positif..
a.
Positive Reinforcement
Pembentukan
suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera
setelah tingkah laku yang diharapkan muncul, merupakan suatu cara yang ampuh
untuk mengubah tingkah laku.
b. Pemadaman/penghentian (Extinction)
Apabila
suatu respons terus-menerus dibuat tanpa perkuatan, maka respons tersebut
cenderung menghilang. Dengan demikian, karena pola-pola tingkah laku yang
dipelajari cenderung melemah dan terhapus setelah suatu periode, cara untuk
mengahapus tingkah laku yang maladaptif adalah menarik perkuatan dari tingkah
laku tersebut. Wolpe (1969) menekankan bahwa penghentian pemberian perkuatan harus
serentak dan penuh.
c. Time-out
Dapat
dilakukan dengan dua cara: (1) berkaitan dengan mainan atau boneka yang menjadi
favoritnya, atau (2) dengan menempatkan klien dalam suatu “time out room” dimana di dalam ruangan/rumah tersebut tidak ada
“rangsangan ganjaran” atau sesuatu untuk dikerjakan (misalnya, TV, majalah,
atau mainan).
Flooding (Pembanjiran)
Kontras dengan sistematik desensitisasi yang
menyajikan item hirarkis untuk meminimalisir kecemasan, maka flooding menyajikan itemitem untuk
memaksimalkan kecemasan, dapat secara imaginal atau secara ‘in vivo’ yang menyajikan dunia real
dengan stimulus aktual. In vivo flooding
terutama efektif untuk menangani agoraphobia.
Implosive Therapy
Dikemukakan oleh Thomas Stampfl (1961), teknik ini
sama dengan ‘imaginal flooding’,
dimana klien diarahkan untuk membayangkan situasi (stimulus) yang mengancam.
Dengan secara berulang-ulang dimunculkan dalam setting terapi dimana
konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dan menakutkan tidak muncul, stimulus
yang mengancam kehilangan daya menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran
neurotik pun terhapus. Misalnya, klien yang obsesif terhadap “kebersihan”.
Participant Modeling (Percontohan)
Meliputi: modeling dengan partisipasi terbimbing
(terapis membimbing klien atas rangkaian latihan), demonstrasi dengan partisipasi
(terapis medemonstrasikan sebelum klien berpartisipasi), dan contact-desensitization (kontak pisik
antara terapis dan klien selama phase awal partisipasi klien dalam treatment).
Self-Efficacy dan Teknik-Teknik Mereduksi-takut
Efficacy
information, ditransformasikan kepada klien melalui: (1) actual performance accomplishment, (2) vicarious learning (modeling), (3) verbal persution, dan (4) changes physiological arousal. Implikasi
teori Bandura untuk psikoterapi bersifat ‘direct’.
Ketika desensitisasi sistematik mengambil keuntungan perubahan dalam ‘autonomic arousal’ dan ‘verbal persuation’, maka ‘participant modeling’ justeru melibatkan
empat saluran informasi, dengan ditambah vicarious
modeling dan sumber informasi yang paling kuat/baik, serta partisipasi aktif
(pencapaian performance). Dengan demikian, participant modeling menurut Bandura
merupakan treatment yang lebih efektif daripada desensitization.
Assertiveness (Social
Skills) Training
Latihan asertif bisa diterapkan terutama pada
situasi-situasi interpersonal dimana individu mengalami kesulitan untuk
menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang
layak atau benar. Tingkah Iaku asertif memiliki karakteristik: (1) ‘tingkah
laku interpersonal’ yang melibatkan ‘kejujuran dan ekspresi yang berterus
terang’ dari pikiran dan perasaan, (2) tingkah laku asertif adalah ‘socially appropriate’, dan (3) ketika seseorang
menjadi asertif, maka akan mendapat dan memperhitungkan ‘feelings and welfare”
pada yang lain. Teknik-tekniknya: (a) the
Glasses Technique, dan (b) Assertiveness
Training in Groups.
Aversive Countercounditioning
Dalam banyak kasus, tujuan terapi adalah mengelimiasi
atau mengurangi tingkah laku bermasalah. Teknik aversif terutama sangat cocok
untuk tugas ini. Secara definisi aversive (penentangan), digunakan untuk
mengatasi macam-macam tingkah laku yang tidak menyenangkan atau tidak
diinginkan. Misalnya, pecandu rokok, peminum, dan homoseks. Teknik aversi
digunakan untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral spesifik yang melibatkan
pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan
sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Kendalinya bisa
melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan hukuman (misalnya,
kejutan listrik, atau ramuan yang membuat mual)
Self-Control
Teknik behavioral yang menekankan suatu aktivitas, ‘coping respons’ dari klien yang
memungkinkan seseorang mengontrol dalam situasi-situasi problematiknya.
Misalnya, digunakan untuk alkoholik, ‘selfabusive
child’, untuk siswa yang ingin mengembangkan keterampilan studi, atau untuk
pribadi ‘overweight’ yang ingin
mengontrol tingkah laku makan.
Contingency Contracting
Contingency
contracting adalah suatu bentuk teknik managemen tingkah laku, yang berguna
untuk meredusir perselisihan/perpecahan marital bagi para remaja. Tahapan-tahapannya
yaitu: asesmen yang difokuskan pada faktor-faktor spesifik ketidak seringan
terjadinya tingkah laku yang diharapkan dan keseringan terjadinya tingkah laku
yang tidak diharapkan, melokalisir mediator atau orang lainyang dapat
memfasilitasi intervensi, mengidentifikasi reward, dan menspesifikasikan
‘pendorong’ yang dapat diterima.
Behavior Therapy and Behavioral Medicine
Pomerleau (1982) menggambarkan behavioral medicine,
sebagai:
(1) klinikal menggunakan teknik-teknik yang berasal dari
analisis eksperimental tingkah laku – terapi tingkah laku dan modifkasi tingkah
laku untuk evaluasi, prevensi, managemen atau treatmen penyakit fisik atau
disfungsi fisiologis,
(2) mengarahkan kontribusi riset untuk analisis fungsional
dan memahami tingkah laku hubungannya dengan gangguan medis dan masalah-masalah
dalam pemeliharaan kesehatan.
Prinsip-Prinsip yang Menjadi
Pegangan Terapis (Konselor)
- Reinforcement sebagai alat pengatur pembentukan tingkah laku baru, dan
pendekatan berdasarkan prinsip-prinsip belajar.
- Ikatan antara stimulus tertentu dengan respon
cemas, dapat diperlemah dengan usaha yang simultan, sehingga respon cemasnya
hilang.
- Kondisioning klasik,
salah satu prosedur terapi behavioral yang diteliti secara empiris dan
digunakan secara luas, untuk mengeliminasi reaksireaksi kecemasan yang
terkondisikan dan phobia-phobia.
- Respon terhadap
kecemasan itu dapat dipelajari atau dikondisikan, dan dapat dicegah dengan
memberi substitusi berupa suatu aktivitas yang bersifat memusuhinya.
G. DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald. Penerjemah Mulyarto. (1991). Teori dan Praktek
dari Konseling dan Psikoterapi. Semarang: IKIP Semarang Press. 30
Dahlan, M.D. (1985). Beberapa Pendekatan dalam Penyuluhan
(Konseling). Bandung: Diponegoro
Lynn, Steven Jay & Garske, John P (1985). Contemporary
Psychotherapies Models and Method. Columbus, Ohio: Bell & Howell Company.
Walker, C. Eugene, et. al. (1981) Clinical Procedures for
Behavior Therapy. New Jersey: Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs
0 komentar:
Posting Komentar