Halaman

Jumat, 12 Oktober 2012


Psychological Acculturation


Perkembangan penting  dari studi tentang akulturasi didapat dari Graves (1967), yang membedakan akulturasi antara tingkat individu dan pada tingkat kelompok. Dia merujuk akulturasi psikologis  (psychological acculturation) mengindikasikan perubahan yang dialami pada tingkat individu,  dan perilaku serta identitas sebagai hal yang dihubungkan dalam perubahan sosial pada tingkat kelompok (dalam Berry dkk, 1996; 1999). Pada tingkat  individu, semua aspek perilaku yang ada dalam individu akan dirujuk sebagai perilaku yang akan berubah, yang akan menjadi dua komponen perilaku dalam strategi akulturasi individu  tersebut (Berry dkk., 1999), yaitu melindungi kebudayaan dan mempelajari kebudayaan. Kedua komponen tersebut jarang dapat dilakukan dengan sempurna dalam satu kegiatan, tetapi lebih sering keduanya dilakukan secara selektif, yang akan menghasilkan dua sikap, mempertahankan atau berubah.
Akulturasi psikologis dalam matriks akulturasi menurut John Berry, sehingga didapatkan penjelasan bahwa ketika individu yang masing-masing memiliki perbedaan latar belakang budaya dihadapkan pada fenomena perubahan budaya dalam kelompoknya maka individu melakukan akulturasi psikologis sebagai upaya mempertahankan identitas budayanya. Akulturasi psikologis (psychological acculturation) mengindikasikan perubahan yang dialami pada tingkat individu,  dan perilaku serta identitas sebagai hal yang dihubungkan dalam perubahan sosial pada tingkat kelompok. Pada tingkat individu, semua aspek perilaku yang ada dalam individu akan dirujuk sebagai perilaku yang akan berubah, yang akan menjadi dua komponen perilaku dalam strategi akulturasi individu tersebut yaitu melindungi kebudayaan dan mempelajari kebudayaan. Tapi ketika keduanya tidak dapat dijalani dengan sempurna maka terdapat dua pilihan yaitu untuk mempertahankan atau berubah sesuai kebudayaan yang dianggap lebih dominan.
Dalam konteks akulturasi psikologis dari komponen perilaku dalam konsekuensi melindungi kebudayaannya, subjek melakukan strategi Integrasi. Integrasi didefinisikan sebagai budaya luar (cultural maintenance) yang berkombinasi dengan budaya lokal (host society). Dengan kata lain, individu tetap memegang budayanya tetapi bersamaan dengan hal tersebut individu ingin turut berpartisipasi.
Akulturasi psikologis kerap berlawanan dengan  pengalaman baru individu. Akulturasi psikologis merupakan stresor yang menantang individu yang mampu menurunkan status kesehatan mental individu. Pada model akulturatif stres, strategi integrasi dalam mengantisipasi memunculkan dengan kesehatan mental individu yang optimal, sebaliknya strategi marjinalisasi menurunkan kualitas kesehatan mental (Giddens, 1998).
Selain itu juga beberapa  penelitian menemukan bahwa strategi akulturasi psikologis juga berkaitan dengan kesehatan mental individu. Melalui studi yang dilakukan di Asia Selatan (Krishnan dan Berry, dalam Berry 1998) menemukan bahwa integrasi akulturasi psikologis berkaitan dengan rendahnya tingkat stres,  separation  berperan pada stres psikosomatik (psychosomatic stress) dan asimilasi memberikan  peran pada munculnya stres psikologis (psychological stress). Studi pada tempat yang  lain juga menemukan hal yang sama, yaitu asimilasi dan marjinalisasi berperan terhadap munculnya evaluasi negatif individu, tendensi depresi, stres psikologis dan stres psikosomatis.
Integrasi akulturasi psikologis dapat dengan mudah dilakukan oleh individu ketika budaya non dominan dapat mengadopsi beberapa nilai fundamental budaya yang dominan dan pada saat yang bersamaan budaya yang dominan juga mampu beradaptasi dengan lembaga masyarakat, misalnya pendidikan, kesehatan dan pekerjaan. Selain itu faktor-faktor seperti rendahnya prasangka (etnosentris, rasis dan diskriminasi) yang dapat memperlancar adanya kerjasama yang saling menguntungkan juga dipertimbangkan sebagai faktor yang berpengaruh. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jayasurya (dalam Berry, 1998) menemukan bahwa individu yang memiliki orientasi terhadap proses akluturasi dan ingin berperan serta pada tataran masyarakat yang lebih luas dan menahan latar belakang nilai yang dimilikinya, cenderung dapat mengakomodasi proses akulturasi psikologis. 
Secara psikologis, dampak dari akulturasi adalah  stress pada individu-individu yang berinteraksi dalam pertemuan-pertemuan kultur tersebut. Fenomena ini diistilahkan dengan kejutan budaya (culture shock). Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335) Pembahasan tentang masalah culture shock juga perlu memahami tentang perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers).  Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dengan orang yang mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu negara (settler). Seperti  yang dikatakan oleh Bochner (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334), perhatian mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun berbeda.
Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara individu yang satu dengan individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rekasi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain:
1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.
2. rasa kehilangan arah
3. rasa penolakan
4. gangguan lambung dan sakit kepala
5. homesick / rindu pada rumah/ lingkungan lama
6. rindu pada teman dan keluarga
7. merasa kehilangan status dan pengaruh
8. menarik diri
9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar,
Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335)
Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U-curve(dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 336).
1. Fase Optimistik (Optimistic Phase), fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan  euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.
2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam culture shock.
3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya
4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir dimana orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, khusus, keyakinan dan pola komunikasi).


sumber

0 komentar:

Posting Komentar